ANALISIS MAKNA SIMBOLIK RITUAL NENA URA WAI PADA MASYARAKAT SUKUTUKAN DI DESA PULULERA, KECAMATAN WULANGGITANG KABUPATEN FLORES TIMUR

Lodowik Nikodemus Kedoh, Maria Lastriana Helen

Abstract


Dalam kehidupan masyarakat tradisional, biasanya muncul suatu hubungan dengan bentuk kepercayaan yang dilatar belakangi oleh budaya dan penghormatan kepada roh nenek moyang. Salah satu budaya yang unik di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah tradisi minta hujan pada leluhur di Desa Pululera, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Desa Pululera merupakan satu Desa yang dihuni oleh masyarakat Sukutukan. Desa Pululera mempunyai tradisi minta hujan yang telah diwariskan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam tradisi minta hujan yang diwariskan para leluhur pada masyarakat Sukutuan, terdapat ritual Nena Ura Wai, dimana dalam ritual Nena Ura Wai masyarakat Sukutukan percaya bahwa manusia masih memiliki hubungan erat dengan alam. Nena Ura Wai merupakan upacara yang dilakukan masyarakat Sukutukan yakni ritual minta hujan setiap bulan Oktober atau November ditahun tersebut. Nena ura wai diawali dengan sejumlah ritual adat diantaranya Babi dan kambing sebagai kurban dalam melaksanakan ritual permintaan hujan, dan memotong bagian badan babi dan kambing menjadi beberapa bagian seperti kepala dan ekor kambing dan di bagikan kepada masyarakat yang ikut dalam ritual permintaan hujan. Ritual permintaan hujan ini dilaksanakan di atas wato wauk artinya batu bau.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan dan mendeskripsikan makna simbolik dalam ritual nena ura wai di Desa Pululera, Kecamatan Wulanggitang. Hasil penelitian ini adalah Dalam ritual nena ura wai terdapat makna simbolik yakni makna simbolik dalam konteks religi yang terdiri dari ekspresi kepercayaan dan sistem ritual dan makna simbolik filosofi yakni sikap keterbukaan dan sikap kebijaksanaan, serta makna simbolik dalam konteks etika. Dalam tradisi Nena Ura Wai terdapat beberapa bentuk komunikasi yang peneliti peroleh yakni komunikasi verbal antara kepala suku dengan masyarakat melalui berbagai kalimat bahasa daerah dalam upacara ritual, dan juga antara kepala suku dengan leluhur dan Tuhan. Bentuk komunikasi tersebut merupakan bentuk komunikasi transendens. Bentuk komunikasi berikutnya adalah komunikasi nonverbal yakni melalui berbagai material dan hewan yang digunakan dalam ritual tersebut yang melambangkan ikatan antara masyarakat dan Tuhan dan leluhurnya.

 

Kata kunci: Komunikasi Ritual, Makna Simbolik, Tradisi


Full Text:

PDF

References


Agus, Bustanuddin. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada .

Dewi, Putri Sari 2021. “Makna Simbolik Komunikasi Dalam Ritual Tradisi Turun Mandi di Desa Lubuk Bigau Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar”. Riau : Universitas Negeri Sultan Sarif Kasim Riau.

Dharmojo, 2005. Sistem Simbol Dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta: Pusat Bahasa.

Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. KANISIUS, Deresan, Yogyakarta

Herusatoto, Budiono, 2001. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita,

Purba, Mauly dan Ben M. Pasaribu. 2004. Musik Populer. Jakarta: Seni Nusantara

Setiadi, E.M. 2006. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group

Sobur, Alex. 2016. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Widagdho, Djoko. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara


Refbacks

  • There are currently no refbacks.